Rabu, 02 Mei 2012

Filosofi Seekor Kepiting



By: Author 1
Reader, jangan ketawa kalo jelek ya, ini Cuma asumsi yang kudapat dari sebuah buku. Lebih ke buku Teenlit sihhh. Yahh… pokoknya jangan ketawa deh. Woke woke??
Langsung aja ya. cekidott…
          Pada hakikatnya setiap kehidupan seorang manusia pasti mengalami jungkir balik kehidupan, atau lebih ngeh kalo pake bahasanya LIKA-LIKU kehidupan. Lika liku kehidupan. Ya, benar saja itu terjadi, setiap orang pernah berada dibawah dan juga diatas. Itu adalah garis kehidupan yang telah diatur oleh yang maha pencipta. Kita harus menjalaninya dengan bersyukur dan juga berusaha untuk bangkit mencapai puncak yang lebih tinggi. Setiap manusia menginginkan yang terbaik untuk dirinya, so pasti kan?
          Tapi setiap apa yang kita inginkan tak semudah kita membalikkan telapak tangan untuk mendapatkannya, kadang kita harus mencari jalan lain untuk bisa sampai ketempat yang kita inginkan. Bahkan tak jarang ketika kita menemukan jalan pintas dan memasukinya dengan sangat bersemangat, tetapi malah jalan buntu yang kita temukan. Itu artinya apa yang terjadi tak selalu sama seperti yang kita harapkan.
          Seperti KEPITING.
Pernah tau nggak, kepiting itu jalannya kesamping? Sekalipun ada makan tepat didepannya, dia  tetep aja harus mutar dulu. Berputar berputar berputar dan berputar, barulah dia dapat memakan makanan yang tadi tepat ada didepannya. Perjuangan seekor kepiting inilah yang hendaknya kita jadikan perbandingan antar seorang manusia dan seekor binatang. Jadi, sebagai makhluk paling sempurna yang diciptakan-Nya kita harus mengikuti garis hidup kita.  Intinya kita harus tetap survive dalam keadaan apapun. Kita harus bisa bangkit kembali ketika kita jatuh, dan sebisa mungkin bertahan dipuncak kehidupan ketika berada diatas, dan terpenting kita harus bersyukur dengan apa yang kita miliki, eeeiiittss tapi jangan salah artikan. Mensyukuri bukan berarti pasrah. Sekali lagi, JANGAN salah artikan. Bisa dibilang kita harus bisa lebih tegar daari seekor kepiting.
Sebenarnya sih ada 2 asumsi yang kudapat dari buku itu, tapi aku lebih milih analogi yang satu ini untuk kujadikan yahhh… mungkin sebagai pembangunku dikala aku jatuh nanti, atau saat saat seperti ini, yahhh kita kan boleh berencana tapi yang absolutnya tetep aja ditangan Sang Pencipta, bener kagak??
Yah setidaknya ini yang ku dapat dari buku itu. Segini dulu yan readers. Bye…bye…








Tidak ada komentar:

Posting Komentar